Epistemologi dan Paradigma
Epistemologi mengacu pada cara mendasar memperoleh pengetahuan dan asumsi tentang kebenaran. Penelitian ilmiah tradisional kerap diasosiasikan dengan paradigma positivistik (mengupayakan objektivitas dan hukum-hukum umum), meski dalam 10 tahun terakhir berkembang pula pendekatan interpretatif, kritis, dll. Evaluasi, sebagai bidang yang muncul dari kebutuhan praktis (misal sejak era evaluasi program pendidikan 1960-an), dikenal lebih plural dalam paradigma. Patton menyebut evaluasi sebagai “metodologically eclectic”, ia dapat berakar pada positivisme, konstruktivisme, pragmatism, hingga paradigma transformatif, tergantung pendekatan yang dipilih.
Satu perbedaan mencolok adalah peran nilai dan subyektivitas. Penelitian berupaya mengendalikan bias dan menghasilkan pengetahuan yang bebas-nilai sejauh mungkin, sedangkan evaluasi secara eksplisit berhubungan dengan nilai (value). Istilah “evaluation” sendiri berarti menilai atau mengevaluasi nilai/kemampuan sesuatu. Guba dan Lincoln (1989) bahkan memperkenalkan fourth generation evaluation berparadigma konstruktivis, yang menegaskan bahwa kebenaran dalam evaluasi bersifat relatif dan perlu dinegosiasikan bersama stakeholder. Evaluasi sering mengakui bahwa nilai-nilai para pemangku kepentingan memengaruhi kriteria keberhasilan, sehingga pendekatan evaluasi harus transparan soal hal ini.
Sejumlah literatur kontemporer telah membahas “prove versus improve” sebagai manifestasi perbedaan epistemologis antara penelitian dan evaluasi. Penelitian berangkat dari keingintahuan teoretis (what is true?), sedangkan evaluasi berangkat dari kebutuhan praktis (what works and is it valuable?). Konsekuensinya, evaluasi kerap menganut paradigma pragmatis, kebenaran diukur dari apakah temuan dapat digunakan untuk perbaikan tindakan. Evaluasi juga menyerap paradigma transformative atau kritis ketika bertujuan memberdayakan kelompok marginal (misalnya dalam empowerment evaluation atau feminist evaluation). Sementara penelitian ilmiah klasik mungkin lebih fokus pada temuan netral, sementara evaluasi menilai kualitas dan manfaat berdasarkan konteks sosial tertentu.
Dalam praktiknya, perbedaan ini diakui para praktisi. Sebuah studi (Wanzer, 2021) menemukan evaluators cenderung melihat evaluasi dan penelitian beririsan namun distingsi, sementara researchers cenderung menganggap evaluasi hanya sub-kategori dari penelitian. Menariknya, evaluators melihat perbedaan yang lebih besar daripada yang dilihat oleh researchers, terutama pada tahap awal (dalam hal tujuan, pertanyaan, dan audiens) dan tahap akhir (misal perlunya penilaian nilai dan format diseminasi hasil). Hal ini mencerminkan bahwa praktisi evaluasi mengembangkan identitas dan epistemologi sendiri yang berbeda dari ilmuwan murni, meskipun menggunakan metodologi yang serupa.
Pengguna Hasil dan Diseminasi
Audiens atau pengguna hasil penelitian vs evaluasi juga berbeda secara signifikan. Penelitian ilmiah ditujukan untuk didiseminasikan secara luas, melalui publikasi jurnal, konferensi, buku, dan lain sebagainya, sehingga audiensnya adalah komunitas ilmiah global dan publik secara umum. Penelitian berkontribusi pada pengetahuan universal; nilai penelitiannya diukur dari seberapa terujinya temuan yang dihasilakan oleh ilmuwan lain dan seberapa luas dampaknya pada teori atau praktik umum.
Sebaliknya, evaluasi biasanya dikomisioning oleh pemangku kepentingan spesifik (mis. donor, manajemen program, lembaga pemerintah atau Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang menjalankan proyek). Laporan evaluasi umumnya menjadi milik penyedia dana dan ditujukan langsung kepada mereka. Hasil evaluasi sering tidak dipublikasikan secara umum, terutama jika sifatnya internal atau sensitif, meskipun prinsip transparansi mendorong semakin banyak evaluasi (khususnya yang didanai publik) dipublikasikan sebagai pembelajaran bersama. Audiens utama evaluasi adalah decision-makers program tersebut, termasuk manajer, donor, tim pelaksana, dan kadang kelompok masyarakat sasaran. Oleh karena itu, hasil evaluasi harus berupa informasi yang actionable, misalnya rekomendasi konkret atau umpan balik yang dapat digunakan untuk meningkatkan program. Ini berbeda dengan hasil penelitian ilmiah yang bisa saja hanya berupa kesimpulan teoretis tanpa panduan tindakan langsung.
Perbedaan audiens ini berdampak pada gaya pelaporan. Laporan penelitian disusun formal akademis dengan metode, analisis, implikasi teoretis, dsb., sedangkan laporan evaluasi lebih ringkas, berorientasi pada pengambilan keputusan, dan sering kali menyertakan rekomendasi operasional. Bahkan, Weiss (1998) menyebut evaluasi sebagai “sistematis, retroactive assessment” atas operasi atau hasil program dengan tujuan memberi umpan balik praktis bagi program/policy.
Dari segi kepemilikan data, Cohen et al. (2018) mencatat perbedaan: dalam penelitian, data dan hasil biasanya menjadi intelektual properti peneliti (yang bebas mempublikasikannya), sementara dalam evaluasi, data/hasil sering dimiliki oleh pihak yang memesannya (penyedia dana) dan penggunaannya bisa dibatasi sesuai kepentingan mereka. Evaluator kadang terikat kerahasiaan atau harus mendapat izin pihak penyedia dana untuk menyebarluaskan temuan. Hal ini berkaitan dengan politik dan etika: evaluasi tidak bisa sepenuhnya lepas dari dinamika politik lembaga yang mengevaluasi, karena temuannya dapat berdampak langsung pada keputusan anggaran, reputasi program, atau kebijakan.
Intinya, penelitian menjawab “apa yang terjadi?” dan menyebarkannya ke dunia ilmu, sedangkan evaluasi menjawab “apa artinya terhadap tujuan kita, dan apa yang harus kita lakukan?” untuk audiens tertentu. Evaluasi bersifat utilitarian, sukses tidaknya diukur dari sejauh mana pengguna hasil melakukan tindakan atau perubahan berdasarkan rekomendasi evaluasi (adopsi hasil). Penelitian bersifat pengetahuan terbuka, sukses diukur dari kontribusi intelektualnya (misal sitasi, pengakuan ilmiah).
Perspektif Feminisme terhadap Riset & Evaluasi
Perspektif feminis memberikan lensa kritis yang memperkaya perdebatan penelitian vs evaluasi. Feminist research dan feminist evaluation muncul dari kesadaran bahwa proses ilmu pengetahuan maupun evaluasi tidak bebas nilai dan sering merefleksikan relasi kuasa patriarkal. Feminist evaluation (FE) menegaskan bahwa evaluasi bukanlah aktivitas netral, ketika kita “menaruh nilai” (to evaluate), kita hampir selalu secara implisit melanggengkan atau menantang struktur patriarki. Oleh karena itu, FE menyerukan evaluator untuk secara langsung menjadi aktivis: secara sadar membawa nilai-nilai feminis (keadilan sosial, kesetaraan gender, partisipasi inklusif) dalam setiap tahapan evaluasi yang dilaksanakan, mulai dari merumuskan pertanyaan, desain metode, analisis, hingga penyebaran temuan. Ini berbeda dengan paradigma tradisional yang meminta evaluator bersikap objektif dan netral. Perspektif feminis justru menantang mitos objektivitas absolut dalam evaluasi, karena siapa pun evaluatornya pasti memiliki nilai dan agenda tertentu. FE mendorong keterbukaan akan nilai yang dianut dan memastikan nilai seperti keadilan dan inklusi terwadahi dalam evaluasi.
Salah satu kritik feminis terhadap praktik evaluasi konvensional adalah bahwa ia kerap melayani upward accountability, lebih untuk memenuhi kebutuhan pelaporannya donor/pemerintah, daripada menjawab kebutuhan komunitas terdampak. Evaluasi bisa jadi dipakai sebagai alat legitimasi kebijakan dominan, alih-alih memberdayakan kelompok marginal. Contoh: program pemberdayaan perempuan mungkin dievaluasi sekadar untuk menunjukkan keberhasilan kuantitatif kepada donor, tanpa menggali suara perempuan peserta program. Evaluasi feminis mengajak untuk mengkaji premis evaluasi sejak awal: Siapa yang menentukan apa yang dievaluasi dan untuk kepentingan siapa?. FE akan berupaya mengalihkan fokus pertanyaan ke hal-hal yang relevan bagi kelompok terpinggirkan dan memastikan proses evaluasi melibatkan mereka secara bermakna. Dalam praktiknya, pendekatan ini mirip evaluasi partisipatoris yang sangat inklusif, ditambah analisis gender/power.
Dalam penelitian feminis, argumen serupa muncul: metode wawancara, misalnya, perlu dirancang agar partisipan (terutama perempuan atau kelompok rentan) memiliki agency dalam bercerita, menantang relasi subjek-objek penelitian tradisional. Epistemologi feminis mengakui posisionalitas peneliti/evaluator: siapa mereka (gender, ras, kelas) memengaruhi cara melihat dunia dan interaksi dengan responden. Sehingga, alih-alih berpretensi netral, peneliti/evaluator feminis reflektif terhadap bias diri dan berupaya mendorong de-kolonisasi atas praktik ilmu (tidak menjadikan subjek penelitian sekadar objek pasif).
Implikasi terhadap perbedaan riset vs evaluasi: Evaluasi feminis menyoroti bahwa evaluasi lebih terang-terangan secara “politis” dibanding penelitian akademis tradisional. Evaluasi melibatkan penilaian nilai secara langsung, dan nilai itu dapat dipakai untuk memperkuat atau meruntuhkan ketidakadilan. Oleh sebab itu, feminist evaluators berpendapat bahwa evaluator wajib mempertanggungjawabkan dampak politik dari penilaian mereka, termasuk bagaimana rekomendasi yang dihasilkan bisa memperbaiki keadaan kelompok terdiskriminasi. Ini memperluas peran evaluasi dari sekadar pemberi informasi menjadi agen perubahan sosial. Di sisi lain, penelitian feminis juga mendorong sains agar lebih demokratis dan inklusif, tetapi hasil penelitian biasanya berupa wacana atau teori (misalnya teori intersectionality oleh Crenshaw) yang kemudian diharapkan mampu memengaruhi kebijakan atau kesadaran umum, alurnya lebih tidak langsung. Evaluasi feminis menuntut hasil langsung yang bisa ditindak, semisal merekomendasikan perubahan program agar lebih peka gender.
Singkatnya, perspektif feminis menyatakan baik penelitian maupun evaluasi tidak bebas nilai. Hanya saja, evaluasi menawarkan ruang lebih segera untuk intervensi nilai karena orientasi aksinya. Evaluasi feminis memanfaatkan itu dengan memasukkan nilai keadilan secara eksplisit dalam proses evaluasi. Hal ini menantang asumsi epistemologis lama bahwa evaluator/peneliti bisa “melihat tanpa bias”. Dalam perspektif FE, justru karena penilaian itu subjektif dan politis, maka mari arahkan secara sengaja untuk mendorong keadilan.
Comments
Penelitian vs Evaluasi: Apa yang Membedakan Keduanya? (3) – Andi Pangerang
[…] 1 | Bagian 2 | Bagian […]
Penelitian vs Evaluasi: Apa yang Membedakan Keduanya? (4) – Andi Pangerang
[…] 1 | Bagian 2 | Bagian […]
Penelitian vs Evaluasi: Apa yang Membedakan Keduanya? (1) – Andi Pangerang
[…] Penelitian vs Evaluasi: Apa yang Membedakan Keduanya? (2) 19/06/2025 […]