Saat Penelitian Ingin Membuktikan dan Evaluasi Ingin Memperbaiki

Dalam dunia kerja sosial, pembangunan, HAM dan demokrasi, serta kebijakan publik, kita sering mendengar dua kata yang seolah dapat dipertukarkan, penelitian dan evaluasi. Keduanya menggunakan metode ilmiah, keduanya melibatkan data, dan keduanya menuntut analisis. Namun, jika kita hanya berhenti pada kesamaan teknis ini, kita akan kehilangan satu hal penting, perbedaan mendasar dalam tujuan dan posisi kuasa dari keduanya. Penelitian ingin membuktikan, sementara evaluasi ingin memperbaiki.

Catatan: silakan baca Penelitian vs Evaluasi: Apa yang Membedakan Keduanya?

Pertanyaannya adalah, membuktikan untuk siapa, dan memperbaiki apa? Dengan menggunakan lensa feminis, kita tidak hanya mempertanyakan perbedaan teknis antara penelitian dan evaluasi, tetapi juga siapa yang diuntungkan dan siapa yang dilupakan dari tujuan-tujuan ini. Tulisan ini merefleksikan secara kritis literatur akademik tentang perbedaan antara penelitian dan evaluasi, lalu menantangnya dari perspektif keadilan sosial dan feminisme interseksional.

Menelusuri Jejak Tujuan Ilmiah dan Tujuan Praktis

Secara konvensional, penelitian ilmiah (research) bertujuan untuk membangun atau menguji teori, menghasilkan pengetahuan baru, dan menjawab pertanyaan universal tentang dunia. Sedangkan evaluasi lebih terikat pada konteks, menilai efektivitas, dampak, atau kualitas suatu program atau kebijakan.

Patton (2017) merumuskan perbedaan ini sebagai prove versus improve, penelitian bertujuan membuktikan sesuatu, evaluasi bertujuan memperbaiki sesuatu. Kajian Wanzer (2021) memperkuat pembedaan ini melalui studi terhadap evaluator dan peneliti. Evaluator melihat pekerjaan mereka sebagai proses menilai keberhasilan dalam konteks tertentu, dengan kebutuhan untuk menghasilkan keputusan praktis. Sebaliknya, peneliti melihat tujuan mereka dalam pengembangan pengetahuan yang dapat diuji dan direplikasi. Namun, Wanzer juga menemukan bahwa perbedaan ini tidak selalu tegas; justru dalam praktik, evaluasi dan penelitian saling bersinggungan, tetapi tetap punya logika yang berbeda.

Penelitian ingin menjawab: Apa yang terjadi? Mengapa terjadi? Bagaimana variabel X memengaruhi Y?
Evaluasi ingin menjawab: Apakah program ini berhasil? Apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Keduanya tampak netral. Tapi perspektif feminisme mengajarkan bahwa pertanyaan dalam penelitian dan evaluasi tidak pernah netral. Siapa yang berhak menentukan pertanyaan dan apa yang layak diperbaiki adalah keputusan politis.

Ketika penelitian ilmiah menguji sebuah hipotesis, ia mengandalkan desain yang ketat, randomized controlled trials (RCT), kuasi-eksperimen, atau model statistik kompleks. Tujuannya adalah menghasilkan validitas internal dan eksternal, sesuatu yang dianggap sahih secara akademik. Namun, siapa yang menjadi subjek penelitian, dan suara siapa yang dianggap penting? Di sinilah muncul kritik feminis terhadap penelitian konvensional.

Banyak penelitian sosial dan pembangunan gagal mengangkat pengalaman perempuan, kelompok marjinal, atau masyarakat adat karena desainnya sejak awal tidak dibangun dengan keberpihakan. Penelitian menjadi proyek hegemonik, meneliti “the other” demi karier akademik, bukan demi perubahan.

Evaluasi, di sisi lain, mengklaim dirinya sebagai perangkat untuk memperbaiki. Tapi memperbaiki untuk siapa? Jika evaluasi hanya menilai pencapaian logframe yang dibuat tanpa konsultasi bermakna dengan komunitas terdampak, maka ia hanya mengukuhkan sistem penindasan agar lebih efisien. Evaluasi menjadi legitimasi sistem, bukan tantangan terhadap struktur kuasa.

Contohnya: sebuah program pemberdayaan ekonomi perempuan mungkin dinilai “berhasil” karena 80% peserta telah membuka usaha. Tapi apakah indikator ini dirumuskan bersama perempuan tersebut? Apakah evaluasi menyelami bagaimana mereka mengalami beban ganda, kekerasan domestik, atau ekspektasi sosial yang mengekang mereka?

Evaluasi yang ingin “memperbaiki” perlu sadar bahwa tidak semua yang diperbaiki harus dipertahankan. Beberapa hal perlu dihapus, bukan dioptimalkan. Feminisme mengajarkan bahwa tidak semua struktur harus diperbaiki, beberapa harus dilawan.

Mengapa Feminisme Mempertanyakan Standar Objektivitas dalam Keduanya

Feminisme, khususnya dari tradisi epistemologi kritis, menyatakan bahwa pengetahuan tidak pernah bebas dari nilai. Donna Haraway (1988) menekankan bahwa semua pengetahuan bersifat “situated”, terikat pada posisi sosial, politik, dan historis dari subjek yang memproduksinya. Ketika penelitian dan evaluasi mengklaim netralitas, mereka sejatinya sedang menyembunyikan posisi kekuasaan di balik metode yang digunakan.

Penelitian sering dianggap lebih tinggi derajatnya karena memiliki terminologi “ilmiah” di dalamnya, diseminasi yang lebih luas, dan penghargaan akademik. Namun feminis seperti Sandra Harding (1992) dan Patricia Hill Collins (1990) menunjukkan bahwa tradisi ilmiah sejatinya didominasi oleh nilai-nilai maskulin dan Barat, yang menjauhkan pengalaman perempuan dan kelompok tertindas dari pusat produksi pengetahuan.

Begitu pula evaluasi. Ketika evaluasi diukur dari seberapa “rigorous” metodenya, bukan dari seberapa relevan dan adil prosesnya, maka evaluasi gagal sebagai alat transformasi. Evaluasi feminis menantang ini dengan cara:

  • Memasukkan narasi subyektif dan pengalaman afektif sebagai data yang valid
  • Menolak standar tunggal validitas kuantitatif
  • Memprioritaskan suara kelompok terdampak dalam desain evaluasi
  • Menggeser pertanyaan dari “apakah berhasil” menjadi “berhasil untuk siapa?”

Apakah mungkin penelitian dan evaluasi mampu melampaui dikotomi antara membuktikan dan memperbaiki? Feminisme menawarkan pendekatan yang lebih reflektif dan transformatif, melihat evaluasi dan penelitian sebagai proses membangun hubungan, membuka ruang, dan memberi suara pada yang bisu. Dalam pendekatan ini, penelitian bukan hanya membuktikan hipotesis, tapi menjadi ruang untuk dialog, bahkan pengorganisasian sosial. Evaluasi bukan hanya memberi skor keberhasilan, tapi menjadi arena pembongkaran ketidakadilan.

Alih-alih hanya terbatas pada to prove atau to improve, kita bisa menambahkan dimensi baru, To unsettle. To reveal. To transform.

Itulah yang ditawarkan feminisme dalam dunia penelitian dan evaluasi. Feminisme mengubah cara kita memahami apa itu keberhasilan, siapa yang menentukan kebenaran, dan bagaimana kita tahu apa yang layak diubah.

Saatnya Mengubah Pertanyaan, Bukan Hanya Jawaban

Kita tidak bisa lagi memisahkan antara metode dan nilai, antara desain dan kuasa, antara pembuktian dan keberpihakan. Penelitian dan evaluasi harus dipahami bukan sebagai perangkat teknis semata, tetapi sebagai perangkat intervensi dalam dunia yang timpang.

Jika penelitian hanya membuktikan tanpa mempertanyakan kekuasaan, maka ia akan memperkuat status quo. Jika evaluasi hanya memperbaiki hal-hal yang tidak adil agar berjalan lebih mulus, maka ia akan menjadi alat penjinakan, bukan pemberdayaan.

Dengan menggunakan lensa feminis, kita kembali diingatkan bahwa tujuan bukan hanya soal hasil, tapi juga soal proses dan keberpihakan. Maka, dalam setiap penelitian dan evaluasi, pertanyaan sejatinya bukan hanya “apakah ini benar atau efektif?”, tapi juga “benar dan efektif untuk siapa, dengan konsekuensi apa, dan siapa yang dilupakan?”

0 komentar
0 disukai
Prev post: Menggugat Netralitas dalam Dunia yang Tidak Pernah NetralNext post: Kesalahan Memahami Evaluasi sebagai Penelitian Bisa Menghancurkan Program

Related posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Saya

Hi, Saya Andi. Saya adalah seorang Project Management dan ME & Learning Practitioner, Sustainability Reporting Advisor, Inclusivity & Intersectionality Fundamentalist, dan Open Society Enthusiast.
Lebih Lanjut

ad