Menjadi Evaluator yang Tidak Netral? Apakah Etis?

“Sebagai evaluator, saya netral. Saya tidak berpihak pada siapa pun”

Pernyataan tersebut terdengar cukup akrab dan sering diulang dalam forum evaluasi, proposal proyek, maupun sesi pelatihan Monitoring & Evaluation (M&E). Namun, apa sebenarnya makna dari klaim netralitas ini? Dan siapa yang diuntungkan dari netralitas tersebut?

Dalam konteks dunia yang dipenuhi ketimpangan sosial, gender, ras, dan kelas, klaim netralitas bukan hanya ilusi, tapi juga berbahaya secara etis. Evaluator yang menolak keberpihakan atas nama profesionalisme justru berisiko mempertahankan kekuasaan status quo dan menegaskan kembali relasi kuasa yang timpang. Tulisan ini saya kembangkan untuk mengupas bahwa netralitas adalah keberpihakan yang tidak jujur, dan justru menjadi evaluator yang berpihak secara sadar dan reflektif adalah bentuk paling tinggi dari etika profesi.

Dalam dunia M&E, profesionalisme sering didefinisikan sebagai kemampuan menjaga jarak dari subjek evaluasi, tidak memihak pada siapa pun, dan menyajikan temuan “apa adanya”. Dalam dokumen kebijakan dan pedoman donor internasional misalnya, evaluator diharapkan mampu menyeimbangkan kepentingan semua pihak dan menjaga “objektivitas” penilaian.

Namun sebagaimana ditunjukkan oleh Michael Patton (2017), evaluasi bukan hanya pengumpulan data, tetapi juga proses pemberian nilai terhadap apa yang terjadi. Evaluator tidak hanya menjawab apa yang terjadi, tetapi juga apakah itu baik atau buruk, dan penilaian ini selalu melibatkan pilihan nilai. Di sinilah kritik feminis terhadap narasi netralitas menjadi penting.

Pendekatan feminis dalam evaluasi menolak gagasan bahwa nilai-nilai evaluator bisa “ditanggalkan” demi menjaga objektivitas. Sebaliknya, feminisme menuntut transparansi atas nilai yang dibawa dan menyatakan bahwa klaim objektivitas yang mutlak adalah bentuk penyangkalan terhadap posisi sosial dan politik evaluator (Podems, 2010).

Netralitas, dalam perspektif ini, bukanlah profesionalisme, melainkan pelarian dari tanggung jawab etis.

Apa yang Diabaikan oleh Evaluator Netral

Evaluator yang mengklaim netralitas sering kali mengabaikan struktur kekuasaan dalam konteks program. Misalnya:

  • Ketika program pemberdayaan perempuan hanya dinilai dari jumlah pelatihan tanpa melihat apakah peserta mengalami kekerasan domestik yang menghambat keberdayaan mereka.
  • Ketika evaluasi pendidikan inklusif tidak memasukkan pengalaman anak-anak disabilitas dalam proses wawancara karena dianggap “sulit dijangkau”.
  • Ketika indikator keberhasilan ditentukan oleh donor dan bukan oleh komunitas terdampak, namun evaluator tetap menggunakan indikator tersebut tanpa kritik.

Dalam semua kasus ini, evaluator netral sebenarnya berpihak pada kekuasaan dominan, dengan cara menyederhanakan realitas sosial menjadi angka, tabel, dan kategori formal yang “siap konsumsi” bagi pemberi dana. Evaluasi feminis menyebut ini sebagai bentuk epistemic injustice, ketika pengalaman hidup kelompok marjinal disingkirkan dari struktur pengetahuan karena dianggap “tidak valid”.

Dengan kata lain, netralitas tidak membuat evaluator bebas nilai, tetapi hanya menyamarkan nilai dominan dalam bentuk yang universal.

Evaluasi Feminis dan Etika Keberpihakan

Pendekatan evaluasi feminis mengubah cara pandang kita terhadap etika profesi evaluator. Bukan dengan menjaga jarak dari kelompok rentan, tetapi dengan mendekat, mendengarkan, dan membangun solidaritas. Evaluator feminis tidak menolak nilai, tetapi secara sadar membawa nilai keadilan, kesetaraan, dan partisipasi dalam seluruh proses evaluasi, mulai dari desain, pengumpulan data, analisis, hingga pelaporan.

Etika evaluasi dalam pendekatan feminis bukan sekadar berdiri dalam prinsip “tidak menyakiti” (do no harm), melainkan juga harus “melibatkan dan memberdayakan”. Evaluator tidak bisa lagi menjadi penonton. Ia harus hadir sebagai pihak yang sadar bahwa setiap keputusan dalam evaluasi, apa yang ditanyakan, kepada siapa, bagaimana ditanyakan, dan bagaimana ditafsirkan, adalah tindakan politis.

Menjadi evaluator yang berpihak bukan berarti kehilangan integritas ilmiahnya. Sebaliknya, evaluasi yang jujur secara nilai justru memiliki integritas etis yang lebih tinggi. Evaluator feminis adalah mereka yang mampu:

  • Merefleksikan posisi sosial dan bias diri sendiri sebelum mengklaim objektivitas
  • Melibatkan partisipan bukan hanya sebagai responden, tapi sebagai co-analyst atau bahkan co-author dari hasil evaluasi
  • Menolak laporan evaluasi yang menyederhanakan kompleksitas ketimpangan sosial menjadi sekadar traffic light matrix
  • Memastikan bahwa suara kelompok rentan terdengar utuh, bukan disaring demi kenyamanan donor

Hal ini menuntut keberanian, karena evaluator tidak hanya menyampaikan “apa adanya” tetapi juga sering kali harus berkata “apa yang tidak ingin didengar”. Tetapi keberanian ini bukanlah pemberontakan pribadi, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral sebagai bagian dari komitmen terhadap perubahan sosial.

Evaluasi feminis menolak menjadi mesin pengukur dampak, tetapi harus menjadi ruang resistensi, kritik, dan penyadaran. Maka, menjadi evaluator yang berpihak bukanlah kelemahan, tetapi pilihan etis dan radikal untuk menciptakan dunia yang lebih adil.

Waktunya Meninggalkan Netralitas yang Palsu

Dalam dunia yang penuh ketimpangan, netralitas adalah kemewahan yang hanya dimiliki oleh mereka yang tidak merasakan ketidakadilan. Evaluator yang mengklaim netral sering kali tidak sadar bahwa mereka telah memilih pihak. Berpihak pada pihak-pihak yang mendominasi, berpihak pada kebijakan status quo, berpihak pada suara mayoritas yang membungkam minoritas.

Tugas evaluator saat ini bukanlah untuk menjaga jarak, melainkan untuk memilih keberpihakan yang adil dan etis. Bukan keberpihakan yang membabi buta, tetapi keberpihakan yang dibangun dari refleksi kritis, kesadaran struktural, dan komitmen pada kesetaraan.

Evaluator yang tidak netral adalah evaluator yang jujur, yang tidak menyembunyikan nilai di balik angka, dan yang berani menempatkan suara kelompok tertindas di pusat proses penilaian. Karena dalam dunia evaluasi, berpihak pada komunitas terdampak adalah satu-satunya cara untuk menjadi benar-benar adil.

0 komentar
0 disukai
Prev post: Evaluasi Feminis Menggunakan FPARNext post: Mengenal Rainbow Framework

Related posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Saya

Hi, Saya Andi. Saya adalah seorang Project Management dan ME & Learning Practitioner, Sustainability Reporting Advisor, Inclusivity & Intersectionality Fundamentalist, dan Open Society Enthusiast.
Lebih Lanjut

ad