Tulisan ini menyajikan sebuah analisis kritis terhadap artikel akademik berjudul “Feminist Evaluation Using Feminist Participatory Action Research: Guiding Principles and Practices” karya Carolyn Crupi dan Tracy Godden (2023). Artikel ini diterbitkan sebagai bagian dari Jurnal New Directions for Evaluation, dan cukup menjadi kontribusi penting dalam diskursus metodologi evaluasi yang berpijak pada prinsip feminis dan partisipatoris. Tulisan ini tidak hanya berupaya mengidentifikasi struktur artikel, tetapi juga menelisik lebih dalam kekuatan, keterbatasan, dan celah epistemologis yang mungkin terlewat dalam analisis dan praktik evaluasi feminis yang ditawarkan.
Artikel ini dapat dirujuk dalam format MLA sebagai berikut:
Crupi, Carolyn, and Tracy Godden. “Feminist Evaluation Using Feminist Participatory Action Research: Guiding Principles and Practices.” New Directions for Evaluation, vol. 2023, no. 179, 2023, pp. 113–126.
Konteks lokasi yang dikaji dalam artikel ini merujuk pada Kanada, terutama dalam pengalaman praktis penulis sebagai evaluator dan fasilitator dalam proyek-proyek evaluasi yang menggunakan pendekatan Feminist Participatory Action Research (FPAR). Meskipun konteks studi berasal dari wilayah dunia utara (Global North), artikel ini mengklaim memiliki relevansi yang lebih luas karena berusaha menyusun prinsip-prinsip normatif dan praktis yang dapat diterapkan di berbagai wilayah, termasuk wilayah dunia selatan (Global South).
Rumusan masalah dalam artikel ini adalah “Bagaimana prinsip-prinsip Feminist Participatory Action Research (FPAR) dapat dijadikan sebagai fondasi bagi praktik evaluasi feminis yang etis, reflektif, dan transformatif?” Penulis ingin membongkar bagaimana evaluasi bisa digunakan sebagai ruang politis untuk pembebasan dan pembelajaran kolektif, alih-alih sekadar sebagai perangkat teknokratis yang netral dan steril dari relasi kuasa. Artikel ini fokus mengkaji pada praktik dan pengalaman evaluasi itu sendiri, sebuah pendekatan yang bersifat meta-metodologis. Dengan kata lain, artikel ini tidak mengevaluasi program tertentu, tetapi mengevaluasi ulang cara kita memahami dan melakukan evaluasi dari perspektif feminis partisipatoris.
Metode penulisan yang digunakan dalam artikel ini adalah pendekatan reflektif-kritis berbasis praktik, di mana penulis sebagai praktisi FPAR melakukan penjabaran prinsip-prinsip kerja dan praktik pengalaman lapangan secara naratif dan teoritis. Artikel ini tidak menggunakan desain kuantitatif atau eksperimen, melainkan studi reflektif berbasis pengalaman lapangan dan kerangka teoritik feminis.
Beberapa teori yang menjadi dasar dalam artikel ini antara lain:
- Feminist Standpoint Theory, yaitu bahwa pengalaman perempuan, terutama mereka yang berada dalam posisi marginal, merupakan sumber pengetahuan yang sah dan bernilai epistemologis tinggi (Harding 1991; Hill Collins 1990).
- Participatory Action Research (PAR) sebagai pendekatan transformasional yang menolak pemisahan antara subjek dan objek riset, serta menekankan pembelajaran bersama sebagai tujuan utama evaluasi (Fine & Torre 2021).
- Intersectionality, sebagaimana dipelopori oleh Kimberlé Crenshaw, yang digunakan untuk menyoroti bagaimana berbagai bentuk penindasan saling tumpang tindih dan membentuk pengalaman sosial perempuan dalam konteks evaluasi.
- Relational Accountability, yang merupakan pendekatan etika dalam riset dan evaluasi yang menekankan pentingnya hubungan yang setara, saling peduli, dan tidak eksploitatif antara evaluator dan partisipan (Wilson 2008).
Dalam pembahasan hasil, Crupi dan Godden menyusun enam prinsip utama FPAR: (1) pengakuan terhadap pengetahuan perempuan sebagai sumber utama evaluasi; (2) komitmen terhadap keberpihakan politis untuk keadilan sosial; (3) praktik kolaboratif yang tidak hirarkis; (4) mendobrak batas antara evaluator dan partisipan; (5) relasi yang berbasis kepercayaan dan perawatan (ethics of care); dan (6) keberanian untuk merefleksi dan mengubah posisi evaluator sendiri selama proses berlangsung.
Temuan kunci artikel ini menekankan bahwa evaluasi feminis partisipatoris bukan hanya tentang metodologi teknis, tetapi tentang membangun ulang relasi kuasa dan epistemologi yang memungkinkan suara perempuan termarginalkan menjadi pusat dari proses evaluasi itu sendiri.
Namun demikian, masih ada beberapa catatan kritis substantif yang perlu digarisbawahi. Pertama, meskipun artikel ini sangat progresif dalam memajukan narasi evaluasi feminis yang transformatif, tetapi masih tetap bergerak dalam kerangka teoritik dan pengalaman yang berbasis pada konteks dunia utara. Bahasa, asumsi, dan referensi yang digunakan sangat berakar pada konteks kolonialisme dan patriarki dalam masyarakat Kanada, sehingga menimbulkan pertanyaan: “Seberapa jauh pendekatan ini bisa diadopsi secara utuh di konteks Global South yang memiliki warisan kolonial dan struktur sosial yang berbeda secara signifikan?”
Kedua, artikel ini sangat kuat dalam membahas proses evaluasi, tetapi relatif kurang mengeksplorasi bagaimana hasil evaluasi tersebut dimanfaatkan untuk mengubah sistem atau memengaruhi kebijakan secara konkret. Artinya, meskipun evaluasi dilaksanakan secara etis dan partisipatoris, pertanyaan tentang dampak struktural dari hasil evaluasi terhadap institusi kekuasaan masih belum terjawab sepenuhnya.
Kelebihan naskah ini terletak pada keberaniannya untuk menggugat posisi evaluator yang kerap ditempatkan sebagai otoritas tunggal dalam produksi pengetahuan. Artikel ini menunjukkan bahwa evaluator feminis harus bersedia mengorbankan kenyamanan, membuka diri terhadap ketidakpastian, dan bahkan “tersesat” dalam proses dialog dengan partisipan evaluasi. Ini adalah keberanian metodologis yang tidak dimiliki banyak pendekatan evaluasi konvensional. Namun kelemahannya terletak pada potensi bias internal, dengan menolak secara eksplisit evaluasi yang dilaksanakan secara linier, artikel ini terkesan mengesampingkan kemungkinan bahwa struktur dan kerangka kerja juga bisa membantu kelompok tertindas dalam menavigasi kekuasaan.
Dalam konteks epistemologis, artikel ini berhasil menyentuh beberapa prinsip dekolonial, tetapi masih menyisakan celah besar untuk benar-benar menjembatani epistemologi lokal dan komunitas dunia selatan. Tidak ada pembahasan yang mendalam tentang epistemologi adat, pengetahuan lokal, atau pendekatan evaluatif berbasis komunitas non-Barat yang juga memiliki prinsip relasional dan kolektif. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa artikel ini sangat kuat sebagai kontribusi kritis dari dalam tradisi feminisme dunia utara, namun masih membutuhkan kemauan politis dan metodologis untuk membangun dialog sejajar dengan epistemologi feminis dari dunia selatan.
Secara umum, artikel ini merupakan pijakan penting bagi siapa saja yang ingin mempraktikkan evaluasi feminis dengan etika, keberanian, dan kepekaan. Namun evaluasi yang sungguh membebaskan tidak cukup hanya dengan mengubah perangkat dan proses, melainkan harus juga menggoyang epistemologi, membuka ruang bagi pengetahuan yang terbungkam, dan bersedia mendekolonisasi dirinya sendiri. Dan itulah pekerjaan panjang yang masih belum selesai.