Banyak proyek pembangunan di negara-negara global selatan dijalankan atas nama bantuan, pemberdayaan, atau pengentasan kemiskinan. Namun, di balik tujuan mulianya, proyek pembangunan kerap menjadi instrumen yang memperpanjang kolonialitas kuasa, suatu kondisi di mana logika kolonial tetap hidup dalam bentuk relasi dominasi pengetahuan, pengambilan keputusan, dan kontrol sumber daya. Artikel ini mengulas bagaimana proyek-proyek pembangunan, jika tidak dikritisi, justru dapat mereproduksi relasi kolonial yang membungkam, menyederhanakan, dan mendikte kehidupan komunitas lokal.
Apa itu Kolonialitas Kuasa?
Konsep kolonialitas kuasa diperkenalkan oleh Aníbal Quijano (2000) untuk menjelaskan bahwa meskipun kolonialisme secara formal telah berakhir, logika kekuasaan kolonial tetap hadir dalam sistem pengetahuan, ekonomi, dan representasi. Dalam konteks proyek pembangunan, kolonialitas kuasa muncul melalui:
- Pengetahuan dari luar yang dianggap lebih valid dibanding pengetahuan lokal,
- Pengambilan keputusan yang terpusat pada donor atau elite organisasi,
- Standar keberhasilan yang ditentukan oleh logika global (efisiensi, profitabilitas, skalabilitas),
- Cara representasi komunitas yang reduktif (sebagai korban, lemah, atau tidak berdaya).
Proyek Pembangunan sebagai Mekanisme Kontrol
Banyak proyek membawa serta model intervensi yang diimpor dari luar konteks lokal. Bahasa proyek pun seringkali penuh istilah teknokratis seperti capacity building, livelihood improvement, atau behavioral change. Meskipun tampak netral, istilah-istilah ini seringkali mengaburkan kenyataan bahwa proyek tidak hanya hadir untuk membantu, tetapi juga untuk mengatur.
Proyek menjadi perangkat domestikasi, mengatur cara hidup, membentuk aspirasi, dan menentukan masa depan komunitas sesuai dengan kerangka pikir yang sudah ditentukan. Dalam proses ini, agensi komunitas sering dikerdilkan, dan sejarah serta nilai-nilai lokal diabaikan.
Kolonialitas dalam proyek juga terjadi saat proyek mengambil alih ruang dan waktu komunitas:
- Pertemuan-pertemuan proyek menyita waktu kerja atau waktu istirahat perempuan,
- Data dan cerita diambil tanpa persetujuan bermakna,
- Aktivitas proyek menggantikan praktik solidaritas lokal yang sebelumnya sudah berjalan.
Tanpa disadari, proyek menjadi instrumen yang mengganggu ekosistem sosial, budaya, dan spiritual komunitas. Bahkan dalam proyek yang dianggap partisipatif pun, partisipasi sering kali dikondisikan, diseleksi, dan diarahkan untuk memenuhi ekspektasi donor.
Menggugat Posisi Proyek sebagai Pembawa Solusi
Pendekatan dekolonial mengajak kita untuk menggugat asumsi bahwa proyek adalah solusi. Sebaliknya, kita diajak untuk:
- Melihat proyek sebagai bagian dari sistem kuasa global yang harus direfleksikan,
- Mengakui bahwa komunitas memiliki pengetahuan, mekanisme bertahan, dan nilai yang valid,
- Menghindari pendekatan yang mengharuskan komunitas berubah agar sesuai dengan proyek,
- Membangun proses intervensi yang bersifat dialogis dan ko-evolusioner.
Untuk membebaskan proyek dari kolonialitas, beberapa pendekatan berikut bisa diterapkan:
- Ko-produksi pengetahuan: Melibatkan komunitas dalam seluruh proses, mulai dari identifikasi masalah hingga evaluasi.
- Pengakuan terhadap epistemologi lokal: Tidak memaksakan satu cara berpikir, tetapi membuka ruang bagi berbagai cara memahami dunia.
- Desentralisasi pengambilan keputusan: Memberi kewenangan nyata kepada aktor lokal untuk menentukan arah proyek.
- Penghormatan terhadap waktu dan ritme komunitas: Menyesuaikan intervensi proyek dengan kalender sosial, spiritual, dan budaya lokal.
Sistem Monitoring, Evaluation, and Learning (MEL) juga tidak lepas dari kolonialitas. Logframe, indikator kuantitatif, dan tools evaluasi standar sering tidak mampu menangkap dinamika lokal. MEL yang dekolonial harus:
- Menggunakan metode partisipatif dan naratif,
- Mengundang refleksi kritis atas praktik evaluasi itu sendiri,
- Menempatkan komunitas sebagai evaluator atas proyek yang masuk ke wilayah mereka.
Proyek pembangunan tidak netral. Ia bisa menjadi instrumen transformasi, tetapi juga bisa menjadi perpanjangan kolonialitas kuasa jika tidak dikritisi dan diubah. Dengan menyadari bagaimana proyek mereproduksi atau melawan dominasi, kita dapat membangun praktik pembangunan yang lebih adil, berakar, dan membebaskan.
Membongkar kolonialitas proyek bukan tugas mudah, namun memerlukan keberanian untuk merefleksikan posisi kita, menantang sistem yang mapan, dan menciptakan ruang baru untuk cara berpikir dan bertindak secara berbeda. Tetapi dari sinilah transformasi sejati bisa tumbuh, dari ketulusan untuk mendengarkan, keberanian untuk berubah, dan komitmen untuk merawat martabat komunitas yang selama ini hanya dijadikan objek proyek.