Evaluasi Feminis Tapi Masih Positivistik?

Dalam beberapa tahun terakhir, evaluasi feminis atau feminist evaluation menjadi salah satu pendekatan yang mengalami peningkatan perhatian di bidang pembangunan internasional. Donna Rae Podems, salah satu tokoh penting dalam ranah ini, menawarkan kerangka Feminist Principles Evaluation (FPE), yang menjanjikan evaluasi yang “transformatif”, “berbasis aktivisme”, dan “fokus pada gender equity”. Namun, ketika dibaca lebih dalam, terutama dari perspektif epistemologi kritis dan teori feminis dunia selatan, pendekatan ini tampaknya belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bayang-bayang positivisme, eurocentrism, dan feminisme arus utama yang lebih sering mengklaim universalitas, namun gagal merepresentasikan kompleksitas pengalaman perempuan di belahan dunia lainnya.

Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan upaya penting pengarusutamaan evaluasi feminis yang saat ini telah dilakukan, melainkan membuka ruang refleksi kritis:

Sejauh mana pendekatan yang mengklaim diri sebagai evaluasi feminis benar-benar mendekolonisasi praktik evaluasi? Apakah prinsip-prinsip feminis yang ditawarkan cukup peka terhadap interseksionalitas yang kompleks dan lokalitas yang beragam? Atau mungkinkah kerangka yang dibangun ini malah justru mereproduksi pola epistemik dominan dengan kemasan “progresif”?

Feminisme Siapa yang Digunakan?

Pertama-tama, pertanyaan mendasar yang layak diajukan adalah: feminisme siapa yang digunakan dalam FPE? FPE dinyatakan dilandaskan dari berbagai aliran feminisme seperti liberal feminism, radical feminism, socialist feminism, multicultural feminism, ecofeminism, dan postmodern feminism. Sebuah landasan teori yang cukup lengkap dan tampak inklusif, namun jika ditelisik lebih jauh, seluruh kerangka tersebut masih berasal dari warisan pemikiran feminis dunia utara (Global North). Hampir tidak ada jejak feminisme dunia selatan, feminisme masyarakat adat, atau epistemologi feminis yang berkembang dalam konteks postkolonial dan non-Barat.

Dengan kata lain, alih-alih membongkar fondasi kolonial dari praktik evaluasi, FPE justru memperkuat satu bentuk feminism universalism yang sudah sering dikritik oleh tokoh-tokoh seperti Chandra Talpade Mohanty (1988), Trinh T. Minh-ha, atau Oyèrónkẹ́ Oyěwùmí. Seolah-olah pengalaman perempuan di Amerika Selatan, Afrika, atau Asia bisa dibaca dan dinilai menggunakan lensa feminis Barat, tanpa mempertanyakan struktur epistemik yang menjadi dasar dari proses evaluasi itu sendiri. Ini yang disebut Mohanty sebagai “colonial feminist discourse”, yaitu ketika feminisme Barat menempatkan perempuan non-Barat sebagai obyek penderita yang dianggap perlu “diberdayakan” melalui skema yang telah ditentukan oleh pusat.

Salah satu kekuatan FPE adalah pengakuannya terhadap pentingnya interseksionalitas. Prinsip ke-8 dalam FPE dengan jelas menyebut bahwa evaluator harus memperhatikan bagaimana pengalaman perempuan berbeda-beda tergantung pada ras, kelas, orientasi seksual, usia, dan disabilitas. Kutipan dari bell hooks (2014) dan contoh dari perempuan Native American lesbian digunakan untuk menggambarkan pentingnya melihat keragaman identitas tersebut.

Namun, apakah prinsip ini dijalankan secara menyeluruh dalam kerangka berpikir FPE? Di sinilah letak persoalannya.

Interseksionalitas dalam FPE masih dipahami dalam kerangka aditif, bahwa identitas perempuan terdiri dari berbagai “lapisan” yang menambah kompleksitas. Namun pendekatan ini cenderung mengabaikan bahwa interseksionalitas adalah tentang struktur kekuasaan yang tumpang tindih dan saling memperkuat, bukan sekadar penambahan kategori sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Kimberlé Crenshaw, konsep interseksionalitas muncul dari kritik terhadap ketidakmampuan sistem hukum dan kebijakan publik untuk memahami ketidakadilan yang dialami perempuan kulit hitam karena mereka tidak hanya perempuan atau hanya kulit hitam, tetapi keduanya sekaligus, dalam sistem yang tidak didesain untuk mengakui kerangka berlapis tersebut.

Dalam FPE, interseksionalitas hanya diposisikan sebagai tambahan prinsip, bukan sebagai lensa analisis utama yang bisa digunakan untuk mengubah cara evaluasi dirancang, dipraktikkan, dan diinterpretasikan. Evaluator tetap diposisikan sebagai subjek yang netral dan rasional, yang bisa mengidentifikasi dan memperhitungkan “lapisan-lapisan identitas”, tanpa harus mempertanyakan posisi kuasa mereka sendiri dalam sistem yang tengah dievaluasi.

Evaluasi Feminis atau Feminisasi Evaluasi Positivistik?

FPE dengan bangga menyatakan bahwa ia adalah pendekatan praktis yang “developmental, actionable, evaluable” (hal. 189). Namun justru dalam upaya menemukan “evaluability” inilah prinsip feminis sering kali dikompromikan. Prinsip-prinsip dalam FPE tetap disusun dalam bentuk linear, universal, dan berorientasi pada hasil yang dapat diukur (measurable). Terdapat daftar prinsip (sembilan prinsip operasional, satu prinsip utama), petunjuk tentang kapan dan bagaimana menerapkannya, serta panduan tentang “aktivisme berbasis bukti”.

Sayangnya, pendekatan ini masih mengandaikan bahwa “truth” dapat ditemukan secara objektif dan diterjemahkan ke dalam tindakan yang logis. Ini merupakan warisan dari epistemologi positivistik yang sering dikritik dalam metodologi feminis. Bahkan Letherby (2003) yang dikutip dalam FPE sendiri menyatakan bahwa feminist epistemology is always partial, situated, and reflexive, bukan obyektif dan translasional.

Alih-alih mendekonstruksi struktur evaluasi tradisional yang sangat terukur dan result-based, FPE justru menyerap logika yang sama namun membungkusnya dalam bahasa feminis. Ini bisa dikatakan sebagai “feminisasi evaluasi positivistik”, pendekatan teknokratik yang diberi label progresif namun masih tunduk pada logika pengukuran yang berbasis efisiensi dan efektivitas.

Dimana Letak Dekolonisasi?

Salah satu hal yang cukup jujur dari FPE adalah pengakuannya bahwa FPE belum sepenuhnya terdekolonisasi, “The need to decolonize evaluation is a relevant criticism, and FPE does not escape it” (hal. 188). Namun pengakuan ini tidak cukup. FPE tidak menjelaskan langkah-langkah konkret untuk mendekolonisasi prinsip-prinsip evaluasi, melainkan tetap bersandar pada pendekatan mainstream seperti principles-focused evaluation, systems thinking versi Meadows, dan utilization-focused evaluation ala Patton, semua berasal dari epistemologi dunia utara.

Dekolonisasi bukan hanya soal menambahkan kutipan dari dunia selatan atau mengakui adanya “budaya lokal” dalam evaluasi, akan tetapi perlu ditunjukkan dalam bentuk proyek epistemologis dan politis yang menginterogasi ulang siapa yang memproduksi pengetahuan, siapa yang berwenang menilai, dan dalam bahasa siapa evaluasi dibingkai. Dalam konteks ini, FPE belum mampu menjawab tantangan dekolonisasi evaluasi sebagai proyek perlawanan epistemik terhadap warisan kolonial dalam pembangunan global.

Lepas dari itu semua, FPE merupakan langkah maju dalam menempatkan evaluasi sebagai proses yang berpihak, politis, dan transformatif. Namun, seperti banyak pendekatan feminis arus utama lainnya, ia masih terjebak dalam logika pembangunan dan evaluasi global yang menempatkan perempuan sebagai obyek intervensi, bukan sebagai subyek epistemik. Ia masih terikat pada logika universalitas feminisme Barat, belum sepenuhnya membongkar relasi kuasa epistemik, dan tidak menjawab secara tuntas persoalan siapa yang punya otoritas dalam mendefinisikan “keberhasilan”.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang, Apakah evaluasi feminis yang benar-benar membebaskan harus bersandar pada prinsip-prinsip yang perlu dievaluasi secara teknis? Apakah keadilan gender bisa diukur melalui indikator dan checklists? Dan siapa yang harus menentukan bagaimana keadilan itu bisa terlihat dan dirasakan?

Dalam dunia yang terus bergerak dan kompleks, mungkin jawaban terbaik bukanlah daftar prinsip, tapi kesediaan untuk terus bertanya. Termasuk bertanya pada diri sendiri:

Feminisme siapa yang sedang kita bawa dalam kerja-kerja evaluasi hari ini?

0 komentar
0 disukai
Prev post: Evaluasi dengan Prinsip-Prinsip FeminismeNext post: Penelitian vs Evaluasi: Apa yang Membedakan Keduanya? (1)

Related posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Saya

Hi, Saya Andi. Saya adalah seorang Project Management dan ME & Learning Practitioner, Sustainability Reporting Advisor, Inclusivity & Intersectionality Fundamentalist, dan Open Society Enthusiast.
Lebih Lanjut

ad