Kesalahan Memahami Evaluasi sebagai Penelitian Bisa Menghancurkan Program

Di banyak organisasi pembangunan, kebingungan antara “penelitian” dan “evaluasi” bukan hanya persoalan istilah, tetapi bisa sampai pada kesalahan konseptual yang serius dan berbahaya. Ketika evaluasi disusun seperti penelitian akademik, dan sebaliknya, program bisa kehilangan arah, sumber daya terbuang sia-sia, dan, yang paling parah, pengalaman kelompok terdampak berpotensi terabaikan dan tak tercatat.

Evaluasi dan penelitian memang berbagi perangkat metodologis. Namun keduanya memiliki perbedaan fundamental dalam tujuan, audiens, penggunaan, dan etika. Ketika evaluasi diperlakukan seperti penelitian, maka akan terancam kehilangan urgensinya untuk menjadi alat refleksi cepat dan perubahan nyata. Ketika penelitian dipaksa menjadi evaluasi, maka akan menjadi dangkal, terjebak dalam rentetan indikator, dan gagal memberi kontribusi teoretis.

Tulisan ini berupaya membongkar mengapa kesalahan seperti ini kerap terjadi, bagaimana kesalahan ini kemudian mampui merusak kinerja program, dan apa yang bisa kita lakukan untuk memulihkan makna evaluasi sebagai praktik yang berpihak, reflektif, dan adil.

Salah Kaprah yang Paling Umum: Semua Evaluasi Adalah Penelitian

Kesalahan paling umum pada mereka yang awam dengan evaluasi adalah anggapan bahwa evaluasi merupakan bentuk kecil dari penelitian. kesalahan inilah yang kemudian melahirkan praktik-praktik bermasalah, seperti:

  • Menyusun evaluasi dengan hipotesis formal, seperti dalam riset akademik.
  • Mengutamakan generalisasi statistik alih-alih pemahaman kontekstual.
  • Menempatkan pengalaman perempuan, anak, atau kelompok minoritas sebagai “tidak valid” karena tidak memiliki standar yang jelas.
  • Menggunakan evaluasi untuk “membuktikan teori”, bukan untuk memperbaiki strategi.

Dalam kondisi ini, evaluasi kehilangan makna politisnya, dan berubah menjadi eksperimen sosial yang hampa. Evaluasi feminis menekankan bahwa evaluasi adalah tindakan etis dan politis, bukan proses akademik yang steril.

Apa Bedanya? Mengapa Harus Dipahami Sejak Awal?

AspekPenelitianEvaluasi
TujuanMenghasilkan pengetahuan baruMemberi penilaian untuk perbaikan
PertanyaanTeoretis, eksploratifPraktis, kontekstual, dan evaluatif
AudiensKomunitas akademikPengambil keputusan, pelaksana program, komunitas terdampak
WaktuFleksibel, jangka panjangTerikat jadwal proyek dan siklus program
EtikaDiatur IRB, tapi kadang jauh dari partisipanHarus melibatkan aktor lokal dan prinsip akuntabilitas
NilaiBerupaya netralSecara sadar membawa nilai (terutama dalam evaluasi feminis)

Feminisme menolak ilusi bahwa keduanya bisa disamakan. Donna Haraway (1988) mengatakan, semua pengetahuan adalah situated, berakar pada lokasi sosial dan relasi kuasa tertentu. Evaluasi, karena dekat dengan praktik sosial, tidak bisa berdiri di luar kuasa. Jika kita menyamakannya dengan riset akademik, artinya kita sedang berupaya membungkam konteks.

Contoh: Ketika Salah Paham Merusak Program

Desain Evaluasi Terlalu Teoretis, Tidak Relevan

Sebuah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) membuat evaluasi program pemberdayaan ekonomi perempuan dengan kerangka seperti penelitian, mengukur “hubungan antara kepercayaan diri dan pendapatan rumah tangga”. Evaluasinya dilakukan dengan kuisioner dan regresi statistik, tanpa mendengar langsung pengalaman perempuan soal kekerasan rumah tangga atau beban ganda.

Hasil: Laporan menyimpulkan program “tidak signifikan secara statistik”, padahal komunitas merasa program sangat membantu secara sosial dan emosional. Evaluasi gagal karena mengadaptasi riset dengan tidak peka konteks.

Penelitian Dipaksa Menghasilkan Rekomendasi Evaluasi

Sekelompok tim riset perguruan tinggi ditugaskan meneliti persepsi remaja tentang pendidikan seksual. Dan laporan akhirnya digunakan secara langsung sebagai rekomendasi kebijakan. Padahal penelitian tidak dirancang untuk mengevaluasi efektivitas intervensi.

Hasil: Rekomendasi tidak tepat, dan program yang dirancang gagal menjawab kebutuhan di lapangan.

Mengapa Feminisme Penting dalam Membongkar Kekeliruan Ini

Feminisme menawarkan perspektif penting bahwa kesalahan memahami evaluasi bukan sekadar kebingungan teknis, tapi cerminan ketimpangan epistemik. Banyak evaluasi dilakukan oleh pihak luar, dengan pendekatan teknokratis, tanpa melibatkan aktor lokal sebagai produsen pengetahuan.

Evaluasi feminis perlu mengusulkan agar:

  • Evaluasi perlu ditempatkan sebagai praktik yang kontekstual dan berpihak, bukan metode akademik.
  • Suara perempuan, disabilitas, LGBTQ+, dan kelompok terpinggirkan perlu ditempatkan sebagai pusat pengetahuan.
  • Evaluator tidak hanya meniru peran peneliti, tetapi menjadi fasilitator transformasi sosial.

Kesalahan menyamakan evaluasi dan penelitian membuat kita lupa bahwa evaluasi yang baik tidak perlu teoretis, tapi harus relevan, adil, dan tindak lanjutnya dapat digunakan.

Salah satu contoh yang menarik misalnya dari proyek evaluasi sistem layanan kesehatan reproduksi di Papua. Evaluator lokal, yang juga aktivis perempuan adat, memutuskan untuk menolak pendekatan survei kuantitatif penuh, dan justru menyusun sesi mendengarkan kolektif menggunakan bahasa ibu kelompok masyarakat yang menjadi subjek.

Pertanyaan evaluasi disusun bersama komunitas terdampak:

“Apakah pace/mace merasa dihargai ketika datang ke puskesmas?”
“Apakah pace/mace merasa bebas menyuarakan kebutuhan pace/mace?”

Hasil evaluasi kemudian disampaikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk cerita, foto, dan puisi.

Donor awalnya bingung. Tapi hasil evaluasi ini menghasilkan perubahan nyata dalam pelayanan. Inilah evaluasi yang tidak menyamar sebagai riset, tapi menjadi alat perjuangan.

Kembalikan Evaluasi ke Maknanya

Menyamakan evaluasi dengan penelitian adalah bentuk penindasan epistemik yang membahayakan. Evaluasi kehilangan urgensinya sebagai ruang refleksi, dan riset kehilangan kemampuannya untuk berpikir secara mendalam.

Jika evaluasi kita hari ini masih mengejar validitas statistik tetapi gagal menghadirkan keadilan sosial, maka kita belum mengevaluasi, kita hanya sedang bermain angka.

Perspektif feminisme menekankan bahwa evaluasi adalah soal siapa yang didengar, bagaimana pengetahuan dibangun, dan keberpihakan pada siapa yang tertindas. Maka kita tidak bisa lagi mengizinkan evaluasi dikurung dalam logika penelitian yang elitis dan steril.

Mari bebaskan evaluasi. Jadikan evaluasi sebagai ruang pembelajaran, keberanian, dan keadilan.

0 komentar
0 disukai
Prev post: Saat Penelitian Ingin Membuktikan dan Evaluasi Ingin MemperbaikiNext post: Evaluasi Feminis Menggunakan FPAR

Related posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Saya

Hi, Saya Andi. Saya adalah seorang Project Management dan ME & Learning Practitioner, Sustainability Reporting Advisor, Inclusivity & Intersectionality Fundamentalist, dan Open Society Enthusiast.
Lebih Lanjut

ad