Ilusi Netralitas yang Membutakan
Dalam banyak ruang organisasi dan program, evaluasi sering kali diposisikan sebagai proses yang objektif, teknokratis, dan bebas nilai. Evaluator dibayangkan sebagai figur paling rasional yang berpegang pada instrumen ilmiah demi memberikan penilaian netral tentang suatu program. Klaim ini tidak hanya menciptakan mitos tentang obyektivitas, tetapi juga menutupi dimensi politik, relasional, dan ideologis dalam praktik evaluasi. Di sinilah kita perlu mengajukan pertanyaan mendasar:
Benarkah evaluasi bersifat netral? Ataukah justru netralitas itu adalah bentuk lain dari keberpihakan terhadap kekuasaan yang tersembunyi?
Dengan menggunakan lensa feminis, tulisan ini berupaya membongkar asumsi dasar evaluasi yang mengklaim diri sebagai netral, serta menunjukkan bahwa evaluasi senantiasa terikat pada struktur relasi kuasa dan pilihan nilai. Kita akan menelusuri bagaimana pendekatan feminis terhadap evaluasi tidak hanya menggugat netralitas, tetapi juga menegaskan bahwa berpihak pada keadilan sosial dan kesetaraan gender merupakan keharusan etis.
Kritik terhadap netralitas dalam ilmu pengetahuan bukanlah hal baru. Dalam epistemologi feminis, gagasan tentang “pengetahuan netral” telah lama dikritik sebagai ilusi patriarkal yang menyembunyikan bias dominan di balik jargon metodologis. Sandra Harding (1986) memperkenalkan konsep “strong objectivity”, yaitu pengetahuan yang sadar akan posisi sosial pembuatnya dan secara aktif merefleksikan kekuasaan yang menyertainya. Donna Haraway (1988) menegaskan bahwa semua pengetahuan adalah “situated knowledge“, lahir dari lokasi sosial tertentu, dan karenanya tidak bisa netral.
Ketika kritik ini diterapkan pada evaluasi, kita tidak sedang membandingkan dua dunia yang berbeda, ilmu dan evaluasi, tetapi sedang menyoroti bahwa evaluasi sebagai praktik sosial-politik juga merupakan proses produksi pengetahuan. Evaluasi tidak hanya mengukur, tetapi juga menentukan apa yang layak diukur, siapa yang valid untuk dimintai informasi, dan bagaimana makna “berhasil” dibentuk.
Dalam konteks ini, evaluasi feminis hadir sebagai pendekatan yang secara eksplisit menyatakan bahwa evaluasi adalah praktik politis yang selalu sarat nilai. Evaluasi feminis bukan sekadar menambahkan variabel gender ke dalam logframe, melainkan mendekonstruksi cara kita memandang keberhasilan, keberdayaan, dan keadilan dalam program sosial, HAM, demokrasi, maupun pembangunan.
Mengapa Evaluasi Tidak Pernah Netral?
Evaluasi tidak akan pernah netral karena ia selalu didesain dalam kerangka nilai tertentu, baik nilai yang eksplisit seperti indikator hasil program, maupun nilai yang implisit seperti cara berpikir evaluator tentang perubahan sosial. Berikut beberapa alasan kunci mengapa evaluasi tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi netral:
- Evaluasi ditentukan oleh siapa yang memesan dan membiayainya. Sebagian besar evaluasi dilakukan karena ada permintaan dari donor, pemerintah, pinpinan organisasi, atau manajemen proyek. Siapa yang membiayai evaluasi biasanya memiliki kendali yang lebih besar terhadap ruang lingkup, fokus, dan bahkan rekomendasi akhir dari evaluasi. Hal ini secara otomatis menciptakan konflik kepentingan yang secara sistemik memengaruhi independensi evaluator, bahkan ketika evaluator tetap terus berusaha menjaga integritasnya.
- Evaluasi mengandalkan kriteria sukses yang sudah ditetapkan. Kriteria seperti efektivitas, efisiensi, dan dampak sering kali didefinisikan sejak awal program, tanpa partisipasi aktif dari kelompok terdampak. Evaluasi feminis menunjukkan bahwa ketika keberhasilan diukur tanpa mempertimbangkan pengalaman perempuan, kelompok rentan, dan minoritas lainnya, maka evaluasi ikut melanggengkan ketimpangan struktural.
- Siapa yang dianggap layak bicara dalam evaluasi? Evaluasi sering kali hanya mewawancarai aktor-aktor formal, seperti staf program, pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat (kebanyakan laki-laki). Sementara perempuan miskin, penyandang disabilitas, atau kelompok LGBTQIA+ kerap diabaikan, padahal mereka memiliki pengalaman hidup, yang dalam konteks tertentu, paling terkena dampak. Inilah yang disebut sebagai bentuk eksklusi epistemik yang sistemik.
- Metode yang dianggap ‘Sahih’ kerap mengabaikan suara emosional dan subyektif kelompok terdampak. Penekanan pada validitas kuantitatif atau generalisasi statistik sering membuat evaluasi menolak narasi personal dan pengalaman afektif kelompok terdampak. Perspektif feminis menegaskan bahwa pengalaman hidup (lived experience) adalah sumber pengetahuan yang sah, dan bahwa metode kualitatif, naratif, dan partisipatoris seharusnya mendapatkan tempat utama dalam proses evaluasi.
Evaluasi Sebagai Proyek Politik dan Etika
Menyebut bahwa evaluasi netral seperti mengabaikan dimensi politik dalam kerja evaluasi. Evaluasi adalah tindakan politis karena ia menentukan apa yang dianggap bernilai dan apa yang tidak. Sebuah program dikatakan “berhasil” menurut indikator donor bisa jadi adalah kegagalan total bagi kelompok marginal yang tidak pernah dimasukkan dalam desain atau pelaksanaan program.
Dalam praktiknya, evaluasi bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, atau sebaliknya, menantang kekuasaan. Evaluasi yang tidak mempertanyakan struktur dan dinamika kekuasaan, atau hierarki keputusan, akan dengan mudah menjadi alat legitimasi semata. Sebaliknya, evaluasi yang mengangkat suara kelompok terdampak dan menantang ketimpangan akan dapat menjadi alat transformasi sosial.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah evaluasi itu netral?”, tetapi “evaluasi berpihak kepada siapa?”. Dan dalam hal ini, bersikap netral adalah bentuk keberpihakan pada kekuasaan.
Refleksi Feminisme dalam Evaluasi
Evaluasi feminis tidak hanya menambahkan pertanyaan tentang gender atau memasukkan perempuan dalam sampling. Lebih dari itu, ia mendorong evaluasi untuk:
- Mempertanyakan siapa yang menentukan pertanyaan evaluasi
- Mengakui positionality evaluator dan partisipan
- Membangun proses evaluasi yang dialogis, partisipatoris, dan etis
- Menolak klaim netralitas sebagai standar keilmuan
- Mengintegrasikan keberpihakan pada keadilan sosial, kesetaraan, dan pengakuan terhadap pengalaman perempuan serta kelompok terpinggirkan lainnya
Evaluasi feminis menyatakan bahwa evaluator memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga mengintervensinya. Evaluator adalah aktor sosial yang harus sadar akan perannya dalam mempertahankan atau meruntuhkan struktur patriarki, kolonialisme, dan kapitalisme.
Oleh karenanya, kita harus berhenti menganggap evaluasi sebagai aktivitas teknis yang netral dan mulai mengakuinya sebagai arena kontestasi nilai. Evaluator harus jujur tentang posisi sosial, etika, dan politiknya. Dalam dunia yang penuh ketimpangan, netralitas bukanlah solusi, melainkan pengkhianatan terhadap keadilan. Maka, evaluasi tidak perlu (dan tidak bisa) menjadi netral. Yang dibutuhkan adalah evaluasi yang sadar nilai, berpihak, dan berkomitmen pada transformasi sosial. Evaluasi yang feminis, interseksional, dekolonial, dan etis. Evaluasi yang berani memilih sisi, dan dengan keberanian itu, membongkar struktur yang selama ini dibiarkan tak tergugat.
Rujukan:
- Haraway, Donna. “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective.” Feminist Studies, vol. 14, no. 3, 1988, pp. 575–599.
- Harding, Sandra. The Science Question in Feminism. Cornell University Press, 1986.
- Podems, Donna. “Feminist Evaluation and Gender Approaches: There’s a Difference?” Journal of MultiDisciplinary Evaluation, vol. 6, no. 14, 2010, pp. 1–17.
- Patton, Michael Quinn. Evaluation Flash Cards: Embedding Evaluative Thinking in Organizational Culture. Otto Bremer Foundation, 2017.
- Wanzer, Dana Linnell. “What is Evaluation? Perspectives of How Evaluation Differs (or Not) from Research.” American Journal of Evaluation, vol. 42, no. 1, 2021, pp. 28–46.
- Cohen, Louis, et al. Research Methods in Education. 8th ed., Routledge, 2018.