Menggugat Netralitas dalam Dunia yang Tidak Pernah Netral

Membedah Ilusi Netralitas

Selama bertahun-tahun, evaluasi diposisikan sebagai perangkat objektif dan netral untuk mengukur efektivitas suatu program, intervensi, atau kebijakan. Netralitas ini diyakini sebagai jantung dari apa yang disebut sebagai “validitas” dan “reliabilitas” dalam dunia evaluasi. Evaluator didorong untuk menjaga jarak, tidak terlibat secara emosional, dan tidak membawa nilai-nilai pribadi dalam prosesnya. Namun, dalam dunia yang sarat ketimpangan gender, ras, kelas, dan kolonialitas relasi kuasa, netralitas bukan hanya ilusi, melainkan bentuk reproduksi kekuasaan yang halus dan bisa mematikan.

Dengan menggunakan pertimbangan tersebut, evaluasi feminis harusnya hadir bukan sekadar sebagai pendekatan metodologis, tetapi sebagai posisi politis yang tegas. Evaluator tidak boleh netral, karena sudah seharusnya tidak netral. Evaluator harus berpihak, terutama pada kelompok yang selama ini dibungkam, dilupakan, atau selalu dinilai dari kacamata kelompok dominan.

Evaluasi sebagai Ruang Politik dan Etika

Evaluasi tidak dibangun di ruang hampa, melainkan dibentuk oleh struktur politik, bahasa kekuasaan, dan sistem nilai yang melekat dalam desain dan praktik program. Sejak dalam tahap penentuan indikator hingga pelaporan hasil, evaluasi adalah arena di mana keputusan tentang siapa yang penting, suara siapa yang dihitung, dan siapa yang berhak bicara, ditentukan oleh aktor yang sering kali berasal dari pusat kekuasaan.

Evaluasi feminis harus berani dengan lantang menyuarakan bahwa produksi pengetahuan dalam evaluasi tidak bebas nilai. Pertanyaan seperti “siapa yang didefinisikan sebagai penerima manfaat?”, “indikator apa yang dipakai untuk mengukur keberhasilan?”, atau “data siapa yang dianggap valid?” merupakan keputusan politis yang mengandung nilai. Maka, berpura-pura menjadi netral sama dengan mengukuhkan sistem pengetahuan yang timpang dan mengabaikan ketimpangan struktural yang membentuk realitas sosial.

Netralitas sebagai Bentuk Kekerasan Epistemik

Dalam lensa feminis, netralitas sering kali dikritik sebagai bentuk kekerasan epistemik. Gayatri Chakravorty Spivak memperingatkan kita tentang “representasi yang tidak disadari sebagai posisi” sering menjadi bentuk subaltern silencing, membungkam mereka yang tidak bisa atau tidak diizinkan berbicara dalam bahasa para dominan. Demikian pula dalam evaluasi, netralitas kerap menuntut evaluator untuk mengambil posisi di luar, “melihat dari atas”, dan menghilangkan emosi, pengalaman, atau posisi sosial. Namun bagaimana mungkin kita bisa mengevaluasi program kesehatan reproduksi, misalnya, tanpa mempertimbangkan bagaimana perempuan miskin diperlakukan oleh sistem medis? Bagaimana bisa kita mengevaluasi program pertanian, misalnya, tanpa memahami peran perempuan petani sebagai pekerja tak dibayar dalam sistem subsistensi? Netralitas membuat kita buta terhadap realitas kehidupan yang penuh luka, ketimpangan, dan perlawanan.

Evaluasi feminis harus menolak netralitas dan memulihkan keberpihakan sebagai nilai dasar evaluasi. Prinsip utamanya adalah menjadikan evaluasi sebagai perangkat untuk perubahan transformatif yang berpihak pada perempuan dan kelompok termarjinal. Evaluasi feminis menuntut pelibatan aktif perempuan dan kelompok termarjinal dalam seluruh proses evaluasi, mulai dari desain, pengumpulan data, hingga interpretasi dan rekomendasi. Evaluasi feminis juga perlu menekankan pentingnya mengangkat perspektif interseksional, bahwa identitas individu tidak boleh dipandang homogen, dan pengalaman perempuan serta kelompok termarjinal dibentuk oleh interseksionalitas identitasnya (seperti: ras, kelas, usia, kemampuan fisik, latar belakang ekonomi, orientasi seksual, dan lain sebagainya).

Keberpihakan dalam evaluasi feminis bukan berarti mendorong evaluasi menjadi bias, melainkan justru menuntut kejujuran, refleksi diri, dan transparansi tentang posisi evaluator. Evaluator sebisa mungkin memosisikan diri untuk menjadi “aktivis“, sebagai konsekuensi dari data yang mereka temukan. Ketika data menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapatkan layanan dasar, bahwa kekerasan berbasis gender kerap diabaikan, atau bahwa kelompok minoritas gender dan seksualitas selalu dikucilkan dari proses pengambilan keputusan, apakah evaluator harus tetap diam atas nama netralitas?

Mengapa Kita Tak Boleh Lagi Bersembunyi Dibalik Kata “Netral”

Menjadi evaluator netral di tengah dunia yang tidak netral bukanlah sebuah kemewahan. Hanya mereka yang tidak pernah mengalami ketimpangan yang bisa berpura-pura netral. Sebaliknya, bagi banyak perempuan, terutama di Dunia Selatan, evaluasi netral berarti evaluasi yang menghapus jejak mereka yang tertindas oleh kekuasaan. Mereka yang tidak disebut, tidak dilibatkan, dan tidak dimaknai sebagai subyek.

Maka keberpihakan bukanlah bentuk penyimpangan metodologis, melainkan tuntutan moral. Dalam penelitian feminis, misalnya, emosi dan nilai bukan pengganggu kebenaran, melainkan bagian dari proses penciptaan makna yang lebih jujur dan manusiawi. Evaluasi feminis mewarisi semangat tersebut: reflektif, terlibat, dan tidak menghindar dari ketegangan sosial-politik.

Tidak ada artinya menjadi evaluator dalam dunia yang masih menyisakan dominasi patriarki, rasisme, kolonialitas, dan kapitalisme yang menggerus nilai kemanusiaan? Tidak ada artinya menyebut diri sebagai “ahli evaluasi” jika kita tidak menyadari posisi kita dalam rantai produksi pengetahuan yang sering kali mengecualikan mereka yang paling terdampak?

Evaluasi feminis tidak pernah berupaya memberikan cara termudah yang bisa dilakukan evaluator dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut, melainkan justru untuk membuka ruang refleksi atas pertanyaan-pertanyaan sulit. Evaluasi feminis mengajak kita bertanya ulang:

Kepada siapa kita bertanggung jawab? Untuk siapa kita bekerja? Dan nilai siapa yang kita bawa dalam laporan-laporan evaluasi yang kita buat dan kirimkan?

Evaluasi feminis tidak netral, tapi sudah pasti adil. Evaluasi feminis berani berpihak kepada mereka yang tak diberi ruang, menolak menyamar sebagai pengamat tak terlihat dan mengakui peran aktif evaluator sebagai agen perubahan. Dalam dunia yang terus mengabaikan suara perempuan dan kelompok rentan, keberpihakan adalah bentuk integritas.

Menggugat netralitas bukan berarti menolak metodologi atau akurasi. Tapi menuntut kita untuk menyadari bahwa keadilan sosial tidak dibangun dari pengamatan diam, melainkan dari keberanian untuk berbicara, bertindak, dan berpihak. Karena di dunia yang tidak pernah netral, hanya evaluasi yang berpihak yang bisa menciptakan perubahan.

0 komentar
0 disukai
Prev post: Mengapa Evaluasi Tidak Pernah Netral dan Tidak Akan Pernah Menjadi NetralNext post: Saat Penelitian Ingin Membuktikan dan Evaluasi Ingin Memperbaiki

Related posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Saya

Hi, Saya Andi. Saya adalah seorang Project Management dan ME & Learning Practitioner, Sustainability Reporting Advisor, Inclusivity & Intersectionality Fundamentalist, dan Open Society Enthusiast.
Lebih Lanjut

ad