Dalam bidang M&E, pendekatan yang digunakan oleh evaluator diharapkan tidak hanya memengaruhi hasil evaluasi itu sendiri, tetapi juga mendorong agar bagaimana dampaknya dirasakan oleh kelompok-kelompok yang terlibat. Salah satu pendekatan evaluasi yang dianggap menawarkan perspektif kritis dan transformatif adalah Evaluasi Feminis. Pendekatan ini diklaim tidak sekadar berfokus pada mengukur keberhasilan program, tetapi juga mengupayakan perubahan sosial yang mendasar, terutama dalam kaitannya dengan relasi kuasa, ketidaksetaraan gender, dan keadilan sosial.
Apa Itu Evaluasi Feminis?
Feminist Evaluation (FE) atau Evaluasi Feminis dinyatakan sebagai pendekatan evaluasi yang bersandar pada prinsip-prinsip feminisme, baik dalam epistemologi, metodologi, maupun etika kerjanya. Evaluasi ini berpijak pada kesadaran bahwa semua program dan proyek terjadi dalam konteks relasi kuasa sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang tidak setara. Oleh karena itu, evaluasi feminis tidak bersifat netral atau objektif secara semu, tetapi justru mengakui posisi dan perspektif evaluator, serta berupaya untuk mengangkat suara kelompok yang terpinggirkan.
Untuk mendalami prinsip-prinsipnya, sila mengunjungi tulisan saya mengenai Prinsip-Prinsip Evaluasi Feminis.
Evaluasi Feminis tidak kemudian berarti hanya digunakan untuk mengevaluasi program yang khusus bertema perempuan atau gender. Sebaliknya, pendekatan ini merupakan pendekatan lintas sektor yang bisa diterapkan di berbagai bidang, termasuk kesehatan, pendidikan, pembangunan, hingga kebijakan publik, dengan tetap membawa lensa analisis gender dan keadilan sosial sebagai fondasinya. Evaluator feminis biasanya lebih sering menggunakan metode kualitatif seperti wawancara naratif, fokus grup partisipatif, atau photovoice, karena metode ini memungkinkan eksplorasi pengalaman mendalam dan perspektif yang sering kali tidak terdengar dalam evaluasi konvensional.
Tantangan dan Pertimbangan
Meskipun menawarkan pendekatan yang kaya dan kritis, evaluasi feminis juga menghadapi tantangan. Salah satunya adalah bagaimana menyelaraskan antara prinsip transformatif dengan kebutuhan praktis dari donor atau institusi yang lebih berorientasi pada hasil (result-based). Evaluator feminis harus cermat dalam menjaga integritas nilai sambil tetap menjawab kebutuhan stakeholder yang beragam.
Selain itu, penting untuk tidak menyederhanakan evaluasi feminis hanya dalam bentuk “menambahkan indikator gender”. Pendekatan ini jauh melampaui itu, ia menuntut kita untuk menggugat struktur ketimpangan, merefleksikan kekuasaan dalam praktik evaluasi, serta memastikan bahwa evaluasi tidak mereproduksi ketidakadilan yang hendak diubahnya.
Evaluasi Feminis menawarkan cara pandang yang lebih adil, reflektif, dan transformatif dalam mengevaluasi program. Dengan menggabungkan analisis kritis terhadap kekuasaan dan komitmen terhadap perubahan sosial, pendekatan ini menjadi perangkat penting dalam mendorong evaluasi yang tidak hanya “menilai”, tetapi juga “menggugah” dan “menggerakkan”.
Bagi para evaluator, peneliti, serta praktisi pembangunan sosial dan HAM, mempelajari dan mengadopsi prinsip-prinsip Evaluasi Feminis merupakan langkah menuju praktik evaluasi yang lebih bermakna dan berdampak.
Tulisan ini terinspirasi dari artikel https://www.betterevaluation.org/methods-approaches/themes/feminist-evaluation