Setiap proyek pembangunan tidak hanya membawa rencana kerja dan anggaran, tetapi juga membawa cara pandang tentang masalah sosial, solusi yang dianggap valid, dan siapa yang dianggap layak menjadi subjek perubahan. Proyek adalah instrumen produksi pengetahuan, dan dalam banyak kasus, juga instrumen politik representasi. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana proyek pembangunan menciptakan narasi, mengkonstruksi citra komunitas, dan membentuk pengetahuan tentang “siapa yang perlu dibantu” serta “bagaimana seharusnya mereka dibantu”, serta mengapa ini penting untuk dikritisi.
Dalam banyak laporan proyek, komunitas digambarkan sebagai kelompok yang “lemah”, “kurang kapasitas”, atau “membutuhkan intervensi”. Narasi ini tampak objektif, namun sejatinya merupakan bentuk representasi yang dibentuk oleh logika proyek. Proyek memproduksi cerita tentang komunitas melalui proposal, baseline survey, logical framework, dan laporan evaluasi.
Representasi ini penting untuk dikaji karena ia membentuk cara organisasi, donor, dan publik memahami realitas sosial. Ketika komunitas terus-menerus direpresentasikan sebagai pihak yang kekurangan, maka identitas mereka dibingkai dalam posisi pasif dan subordinat.
Produksi Pengetahuan dalam Siklus Proyek
Setiap tahapan proyek adalah momen produksi pengetahuan:
- Di fase inisiasi, masalah dirumuskan, seringkali tanpa suara komunitas.
- Di fase perencanaan, indikator keberhasilan ditentukan oleh aktor luar.
- Di fase implementasi, data dikumpulkan untuk memenuhi kebutuhan donor.
- Di fase monitoring dan evaluasi, keberhasilan dinilai dari standar yang ditentukan dari luar.
Manajemen proyek memang memberikan ruang untuk refleksi dan adaptasi, tetapi tidak membahas secara mendalam dimensi epistemik dari proyek, siapa yang dianggap sebagai sumber pengetahuan? Siapa yang perlu didengar dan dicatat? dan Siapa yang biasanya hanya dijadikan objek wawancara atau FGD?
Demikian halnya dengan bahasa dalam dokumen proyek, sangat menentukan arah representasi. Kata seperti “beneficiary” secara implisit mengandaikan relasi pasif. Komunitas menjadi penerima, bukan aktor. Kata “empowerment” pun sering digunakan secara retoris, padahal proses pengambilan keputusan tetap berada di tangan eksternal.
Dalam banyak proyek, bahasa teknokratik menutupi realitas konflik, resistensi, atau ketegangan sosial yang sebenarnya hadir di lapangan. Bahasa menjadi alat normalisasi dan netralisasi konflik. Ini adalah bentuk kolonisasi wacana yang perlu dikritisi.
Menggeser Logika Representasi Menuju Ko-produksi Pengetahuan
Sebagai respons atas dominasi representasi dari luar, pendekatan ko-produksi pengetahuan menjadi penting. Dalam pendekatan ini, komunitas tidak hanya menjadi subjek yang diwawancarai, tetapi juga menjadi rekan analisis, co-evaluator, bahkan penulis bersama laporan proyek.
Langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:
- Menggunakan metode partisipatif dalam riset awal dan evaluasi,
- Melibatkan komunitas dalam penentuan indikator keberhasilan,
- Memberikan ruang komunitas untuk menulis narasi mereka sendiri (misalnya dalam laporan atau blog proyek),
- Menciptakan ruang refleksi kolektif lintas peran (staff, komunitas, donor).
Sebagai praktisi MEL, kita perlu menyadari bahwa instrumen yang kita gunakan, logframe, baseline, KPI, merupakan bagian dari rezim pengetahuan. Kita harus bertanya:
- Apakah indikator kita merepresentasikan yang penting bagi komunitas?
- Siapa yang menyusun kerangka logika?
- Apakah laporan akhir memberi ruang bagi narasi lokal?
MEL yang berkeadilan harus berani menggugat praktik representasi yang reduktif dan menggantinya dengan proses yang inklusif dan reflektif.
Proyek pembangunan bukan hanya ruang intervensi teknis, tetapi juga ruang epistemik yang memproduksi pengetahuan dan representasi tentang dunia. Jika tidak dikritisi, proyek akan terus mereproduksi cara pandang yang bias, tidak adil, dan mengaburkan kekuatan komunitas.
Dengan menyadari dimensi ini, kita bisa mulai membangun proyek-proyek yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga menghormati cara komunitas memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka. Inilah langkah awal menuju keadilan epistemik dalam praktik pembangunan.