Ketika Evaluasi Tidak Cukup Hanya Lewat Kata tapi Harus Turun ke Lapangan

Dalam sektor kebijakan publik dan pembangunan, evaluasi sering dianggap sebagai instrumen “pasca-program”, perangkat teknokratis yang bertugas menilai apakah sebuah intervensi mencapai tujuannya atau tidak. Evaluator dikerahkan untuk menulis laporan, menghasilkan grafik logika, dan merumuskan rekomendasi berbasis data. Namun, dalam realitas dunia yang penuh ketimpangan, pendekatan ini semakin tidak cukup. Evaluasi yang hanya bicara angka tanpa menyentuh ketidakadilan struktural pada dasarnya adalah bentuk keheningan yang berbahaya.

Menggunakan lensa feminis, kita terus diingatkan bahwa evaluasi bukan sekadar ruang teknis, tetapi arena politis dan etis. Evaluasi yang feminis tidak berhenti pada pengumpulan data dan penyusunan laporan, tetapi juga memanggil evaluator untuk turun ke jalan, bukan dalam arti literal semata, tapi sebagai bentuk keterlibatan nyata dalam perjuangan keadilan gender dan sosial.

Salah satu kesalahan besar dalam ekosistem evaluasi pembangunan saat ini adalah ilusi bahwa perubahan bisa diukur secara objektif dan linier. Program dinilai “berhasil” jika memenuhi indikator output, misalnya jumlah pelatihan, jumlah peserta, atau distribusi layanan, tanpa mempertanyakan siapa yang memegang kuasa dalam desain intervensi, siapa yang ditinggalkan, dan siapa yang diposisikan sebagai penerima pasif.

Dalam prinsip evaluasi feminis, misalnya menyerukan bahwa evaluasi tidak boleh netral terhadap relasi kuasa. Prinsip ke-5 dari FPE secara eksplisit menyatakan bahwa evaluator harus mengidentifikasi dan bekerja untuk mengurangi ketimpangan kuasa yang menopang ketimpangan gender. Ini bukan ajakan lunak, melainkan tuntutan untuk memihak secara sadar pada mereka yang selama ini terpinggirkan oleh kebijakan, prosedur, dan bahkan oleh praktik evaluasi itu sendiri.

Ketika evaluator menemukan bahwa perempuan dalam sebuah komunitas tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan karena norma adat patriarkal, apakah fenomena tersebut cukup hanya disebutkan dalam laporan akhir? Ketika data menunjukkan bahwa kelompok LGBTQ+ tidak diakomodasi dalam program kesehatan reproduksi karena alasan moral budaya dominan, apakah tugas evaluator hanya menyisipkan informasi tersebut pada catatan kaki?

Evaluasi feminis menolak hal tersebut. Evaluasi feminis tidak hanya sekadar menulis, tetapi juga melawan!

Dari Advokasi ke Aktivisme dalam Evaluasi

Evaluasi feminis menandai batas penting antara advokasi dan aktivisme. Aktivisme dalam evaluasi tidak berarti harus membawa agenda ideologis di awal, melainkan muncul sebagai konsekuensi dari temuan evaluasi itu sendiri. Evaluator menjadi aktivis karena data yang dikumpulkannya mengungkap ketidakadilan yang tak bisa diabaikan. Inilah momen ketika evaluasi tidak cukup hanya lewat kata, tetapi harus turun ke lapangan. Ia harus melibatkan diri dalam diskusi kebijakan, memfasilitasi suara perempuan dan kelompok rentan, dan bila perlu, menjadi pengganggu sistem yang selama ini hanya menyentuh permukaan masalah. Evaluator bukan sekadar pengamat, tetapi harus masuk ke dalam bagian dari struktur sosial yang harus diintervensi.

Konsekuensinya? Evaluator harus siap menghadapi resistensi, pertentangan, bahkan disalahpahami. Tapi justru itulah bentuk integritas, menolak kenyamanan profesional jika kenyamanan itu berarti mengabaikan ketidakadilan.

Misal: Evaluasi feminis tidak mengintervensi sistem hanya dengan mempersoalkan satu kolom pada formulir registrasi klinik yang meminta status perkawinan perempuan. Ketika temuan menunjukkan bahwa perempuan lajang mendapatkan informasi kontrasepsi lebih sedikit dari yang sudah menikah, evaluasi tidak berhenti pada kesimpulan tersebut. Evaluator harus mampu mendorong perubahan formulir, pelatihan ulang staf, dan pendekatan layanan berbasis hak, bukan justru menjadi polisi moralitas. Kerja evaluator bukan sekadar untuk perubahan administratif, tetapi hingga aktivisme mikro yang menggeser norma diskriminatif dalam praktik sehari-hari.

Kritik Terhadap Profesionalisme yang Membungkam

Dalam banyak pelatihan evaluasi misalnya, “profesionalisme” diartikan sebagai menjaga jarak, tidak boleh emosional, tidak terlibat, dan tidak politis. Ini adalah warisan dari epistemologi positivistik yang masih mengakar kuat dalam dunia evaluasi. Namun dalam kerangka feminis, profesionalisme semacam itu justru menjadi bentuk baru dari pembungkaman. Evaluasi feminis menolak gagasan bahwa seorang evaluator harus diam demi terlihat netral. Sebaliknya, evaluator justru harus mendengar lebih dalam, merasakan lebih jujur, dan berbicara lebih lantang. Inilah yang disebut dengan profesionalisme yang bertanggung jawab secara etis dan sosial, bukan sekadar teknokratis.

Evaluasi feminis tidak anti-data, tidak anti-metode. Tapi ia anti-pembiaran. Ia mengajak evaluator untuk sadar posisi, berani merefleksikan bias, dan tidak bersembunyi di balik jargon akademik saat ketimpangan berada tepat di depan mata. Evaluasi feminis secara tegas menekankan bahwa data tidak boleh berakhir di spreadsheet, data harus mengarah pada keberanian untuk bertindak.

Dengan pendekatan partisipatif, interseksional, dan berbasis ko-kreasi, evaluasi feminis membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam oleh narasi besar pembangunan. Evaluasi menjadi proses yang membebaskan, bukan menilai dari atas. Evaluator menjadi fasilitator perubahan, bukan hakim yang sok “objektif” yang berdiri di luar realitas sosial.

Ketika evaluasi feminis menyatakan bahwa evaluator bisa menjadi aktivis, artinya kita sedang meruntuhkan batas antara ilmu dan keadilan sosial. Ia mengingatkan kita bahwa:

Dalam dunia yang diliputi ketimpangan struktural, diam bukanlah kebajikan ilmiah, melainkan sebentuk kolusi.

— Andi P, MEL Practitioner, 2025

Evaluasi yang adil tidak cukup dengan bicara di ruang seminar atau tertulis dalam laporan akhir. Ia harus hidup dalam tindakan. Ia harus berani berkonfrontasi dengan kebijakan yang diskriminatif, sistem yang membungkam, dan paradigma yang usang. Evaluator tidak hanya harus berbicara. Evaluator harus, dan bisa, turut turun ke jalan.

0 komentar
0 disukai
Prev post: Memahami Proyek sebagai Produksi Pengetahuan dan Politik Representasi

Related posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Saya

Hi, Saya Andi. Saya adalah seorang Project Management dan ME & Learning Practitioner, Sustainability Reporting Advisor, Inclusivity & Intersectionality Fundamentalist, dan Open Society Enthusiast.
Lebih Lanjut

ad